Transgender.
Ketika kita mendengar tentang
kata transgender, apakah yang muncul dalam benak kita? Banci? Waria? Bencong?
Aneh? Pernakah kita berpikir atau mendengar bagaimana sebenarnya mereka?
Bagaimana sisi psikologis mereka sendiri menghadapi kenyataan bahwa mereka
berbeda? Pernahkah kita memandang mereka bukan hanya sebagai orang yang berbeda
tapi juga menyadari bahwa mereka sama dengan kita?
Nah , untuk itulah saya dan beberapa teman lain pergi ke Solo untuk belajar dan mengenali tentang transgender
dalam Seminar Mengenali Sisi Lain Transgender yang diadakan oleh jurusan
Psikologi UNS pada 12 Mei 2012 kemarin di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum UNS,
Solo. Seminar kali ini menghadirkan
narasumber tansgender dari HIWASO (Himpunan Waria Solo) , yaitu Mama Londoh
(founder Hiwaso), Mbak Cyntia , Mbak Hera, dan Mbak Gita. Narasumber adalah Dr.Istar (Dosen FK UNS) dan
Profesor Koentjoro S.Psi, M.Psi (Dosen
Fakultas Psikologi UGM).
Menurut Profesor Koentjoro ,
mereka yang melakukan transgender ini didasari oleh beberapa faktor, dan yang
paling menunjang perilaku ini adalah keluarga. Mereka yang tinggal dalam
keluarga yang sangat didominasi oleh ibu, mereka yang diperlakukan seperti
wanita sedari kecil, mereka yang menjadi satu-satunya lelaki/wanita di antara
saudara kandungnya, dan mereka yang menjadi anak tunggal atau anak bungsu di
keluarganya rentan melakukan transgender. Hal ini dibenarkan oleh keempat
pelaku transgender , mereka ada produk dari hasil perlakuan yang salah sedari
kecil dan memiliki kelekatan yang sangat dengan sosok ibu karena mereka
merupakan anak tunggal ataupun anak bungsu.
Profesor Koentjoro mengatakan
lagi bahwa mereka yang melakukan transgender bukan berarti mereka mengalami
perubahan bentuk dari kromosom, mereka hanya mengubah bentuk fisik, bukan
kromosom, hal ini berbeda dengan mereka yang mengalami kesalahan genetik dari
lahir, yaitu mereka yang memiliki kromosom XXY atau XYY , sehingga memilki
kelamin ganda. Hal ini diamini oleh Dr.Istar yang mengatakan bahwa sampai saat
ini tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa seseorang yang melakukan
transgender mengalami perubahan bentuk kromosom.
Sebenarnya, selain keluarga
apalagi yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan transgender?
Lingkungan sosial dan gaya hidup menjadi jawabannya. Seperti yang diakui oleh
Mbak Cyntia, dia menjelaskan bahwa sedari kecil dia menyadari bahwa dirinya
berbeda, dia selalu ingin tampil seperti wanita namun fisiknya adalah lelaki,
ketika remaja dia mulai menyukai tetangga lelakinya dan mulai menerima bahwa
dia adalah jiwa wanita yang terperangkap dalam tubuh lelaki.
Apa itu jiiwa wanita yang
terperangkap dalam tubuh lelaki? Dr.Koentjoro menjelaskan bahwa menurut Carl
Gustave Jung, manusia itu anima-animus, yaitu pada dasarnya setiap manusia itu
memiliki jiwa wanita dan jiwa lelaki di dalam dirinya, tetapi jiwa yang
mendominasilah yang akhirnya membentuk sifat seseorang. Hal ini berkaitan
dengan adanya hormon estrogen dan testosteron pada setiap individu, namun ada
yang berkembang dan mendominasi , misalnya pada wanita, yang mendominasi adalah
hormon estrogen, makanya wanita memiliki jakun namun tidak berkembang seperti
pria, karena pertumbuhan jakun dipengaruhi oleh hormon testosteron.
Hal yang paling menarik dari para
transgender ini adalah mereka tetap sadar akan kondrat mereka yang terlahir
sebagai pria. Seperti kata Mbak Hera, “Ketika saya salat dan menghadap Allah,
saya sadar bahwa saya adalah seorang pria. Saya tetap mengenakan sarung, bukan
mukena”. Bahkan mereka menyatakan bahwa sekalipun mereka telah melakukan suntik
silikon untuk payudara dan panggul, mereka tetap mempertahankan organ
‘kelaki-lakian’ mereka.
Lalu, apakah mereka yang
melakukan transgender juga merupakan homo? Ya, mereka adalah homo, tapi yang
paling penting untuk digarisbawahi adalah mereka tidak menyukai pria yang homo,
apalagi kemayu. “Kami mencari pria-pria atletis”, ucap Mama Londoh. Ya,
transgender seperti mereka bahkan memiliki selera yang sama seperti wanita
ketika membicarakan pria.
Hal inilah yang diungkapkan Profesor
Koentjoro sebagai suatu keibaan hatinya, bahwa kaum yang lazim kita sebut waria
ini tidak menyukai pria homo, tapi pria normal, dan mereka berbeda dengan homo.
Apa bedanya? Waria, selalu merasa bahwa mereka adalah perempuan, tetapi homo,
mereka tetap merasa dirinya lelaki dan dalam melakukan hubungan intim dengan
pasangan, mereka mampu menjadi Top (laki-laki) dan berganti menjadi Bottom
(wanita) , tapi transgender tidak. Mereka adalah homo buttom, dan nggak bisa
berganti menjadi homo top.
Hal yang menyentuh hati
selanjutnya adalah bahwa para transgender ini pun sebenarnya juga ingin
memiliki anak, namun tidak mampu untuk mengandung sendiri. Seperti Mama Londoh,
dia menganggap semua transgender adalah anaknya, dan Mbak Cyntia juga
mengadopsi seorang gadis cilik. Para transgender ini pun memiliki prestasi,
seperti Mbak Gita yang menjadi koreografer dan berpergian keluar negeri (saat
itu dia baru kembali dari Jepang), dan Mama Londoh yang merupakan seorang duta
anti HIV/AIDS.
Lalu, yang menjadi pertanyaan
seorang peserta yang hadir saat seminar adalah : Apakah sifat kelaki-lakian
(manly) dari mereka yang melakukan transgender itu hilang? Mama Londoh menjawab
dengan gurau pertanyaan ini, “Kalau hilang ya nggak mungkin lah , Sayang, tapi
memang hanya tampak kalau ada sesuatu yang mengancam kita dan sifat kewanitaan
kita nggak mampu untuk menyelesaikannya. Saat itulah asli-nya kita muncul.
Hahaha”
Seperti halnya dengan kita, para
transgender ini pun ingin dianggap biasa dan normal. “Kita akuin kalau kita itu
lebih sensitif lebih daripada wanita , kita juga agresif dan posesif. Makanya
kalau ada orang yang langsung bisik-bisik sambil ngelirik kita kalau lagi
lewat, meskipun bukan membicarakan kita, kita langsung merasa, dan nggak suka.
Tolong bersikap biasa aja kepada kami. Kami juga nggak mengganggu atau apa
kok”, ucap Mbak Cyntia, nada kepedihan terpancar dari suaranya meskipun dia
berbicara dengan lantang.
Ya, memang seharusnya seperti itu
kan? Kita nggak berhak langsung menjudge dan menjauhi orang hanya karena dia
berbeda dari norma-norma umum, bahkan kita nggak mengenal benar orang tersebut.
Bagaimanapun orang lain, mereka selalu punya alasan untuk melakukan hal yang
sesuai dengan kepribadian mereka, justru kitalah yang seharusnya lebih membuka
diri dan mengubah mindset kita terhadap mereka. Karena mereka bisa saja menjadi
korban salah asuh ya kan ? J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar